Type

blogs

Scope of Work

Awareness-Raising Campaigns

Issue

Deaf Culture, Participatory Arts

Jejak Kreasi: Mural Partisipatif untuk Solo Kota Inklusi

Namira Fathya
Fri, 08 Dec 2023

Kota Solo merupakan salah satu kota dengan praktik inklusivitas paling baik di Indonesia. Akan tetapi, masih banyak hal yang dapat ditingkatkan, khususnya dalam melibatkan penyandang disabilitas dalam pengambilan keputusan di tingkat kota. Bagi teman-teman Tuli, keterbatasan ini disebabkan oleh kurangnya akomodasi dalam Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO). Diperlukan kolaborasi aktif dari berbagai pihak dalam membangun lingkungan yang lebih akomodatif dan inklusif.  

Kami melihat adanya potensi seni visual, dalam bentuk mural, sebagai medium advokasi untuk teman-teman penyandang disabilitas Tuli. Oleh karena itu, kami membentuk konsorsium yang terdiri dari Kota Kita, Gerkatin Solo, dan Ruang Atas untuk menyusun program Kreativitas dalam Partisipasi untuk Solo Kota Inklusi (KREASI). Masing-masing organisasi bergerak di bidang yang berbeda: Kota Kita di bidang pembangunan kota, Gerkatin Solo di bidang advokasi Tuli di Surakarta, serta kolektif seni Ruang Atas yang banyak memfasilitasi kegiatan kesenian.

Tiga sudut pandang yang berbeda merupakan bekal bagi program KREASI untuk menyelenggarakan rangkaian aktivitas berbasis seni partisipatif yang menghasilkan 3 mural di 3 titik ruang publik di Kota Solo: Jl. Slamet Riyadi, Jl. Gatot Subroto, dan Taman Monumen 45 Banjarsari. 

Secara garis besar, pembuatan mural yang dilaksanakan selama bulan Januari - November 2023 terbagi dalam dua rangkaian kegiatan: tahap penggalian tantangan dan aspirasi Teman Tuli dalam berkehidupan di kota menggunakan metode Photovoice, tahap penyusunan sketsa partisipatif (co-design), dan tahap pembuatan karya secara kolaboratif.

Karya mural di Jl. Slamet Riyadi dengan tema “Pentingnya Penggunaan BISINDO di Ruang Publik” diproduksi bersama peserta lokakarya Photovoice dan difasilitasi oleh teman-teman seniman dari Ruang Atas: Wahyu Eko Prasetyo, Haris Huda, Chairol Imam, Imam Bawon dan Elham Nur F. Selain menggambarkan pesan tentang pentingnya BISINDO bagi teman-teman Tuli, karya yang disusun dengan metode kolaboratif juga memuat pesan tentang harapan akan masyarakat yang lebih terbuka dan inklusif terhadap penyandang disabilitas lainnya.

Sementara itu, karya di Jl. Gatot Subroto dengan tema “Keragaman Abilitas Masyarakat di Ruang Publik” dikolaborasikan dengan seniman Elham Nur F atau Young Surakarta. Di Taman Monumen 45 Banjarsari, tiga Seniman Tuli yang berdomisili di Solo Raya menyumbangkan karyanya, yaitu Aprilian Bima, dan Galih Saputro. Setiap karya mencerminkan ciri khas masing-masing seniman serta menyampaikan pesan yang ingin disampaikan melalui ekspresi artistik mereka.

  • Aprilia Bima (Bima)

Mural Bima menggambarkan tokoh utama, Charles-Michel de l'Épée, seorang rohaniah dan pendidik asal Prancis yang dikenal sebagai Bapak Tuli dalam sejarah. Pada tahun 1760, l'Épée memulai revolusi pendidikan khusus bagi anak muda Tuli di Prancis. Berbeda dengan metode pendidikan Tuli pada masa itu yang cenderung tertutup dan mengutamakan komunikasi oral, kelas-kelas l'Épée dirancang sebagai lingkungan terbuka yang memungkinkan murid berkomunikasi melalui isyarat.

Inovasi pendidikan l'Épée menjadi tonggak awal dalam kodifikasi Bahasa Isyarat Prancis, yang kemudian menjadi dasar bagi banyak Bahasa Isyarat di seluruh dunia. Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO) pun berkembang dari Bahasa Isyarat Prancis yang diasuh oleh l'Épée. Di sekitar gambar l'Épée, seniman mural Bima menyisipkan tokoh-tokoh berisyarat yang mewakili teman-teman Tuli. Mereka menggunakan BISINDO sebagai medium komunikasi, bersanding dengan Bahasa Indonesia tertulis.

Melalui karyanya, Bima berharap agar masyarakat dapat lebih sadar akan pentingnya BISINDO sebagai alat komunikasi bagi komunitas Tuli. Mural ini bukan hanya merayakan kontribusi l'Épée dalam dunia pendidikan, tetapi juga mengajak kita untuk menghargai dan mendukung inklusivitas dalam komunikasi, serta memupuk pemahaman akan keberagaman bahasa isyarat di berbagai belahan dunia.

  • Galih Saputro

Terletak di jantung Jawa Tengah, Kota Solo merupakan kota yang kental dengan kebudayaan Jawa yang kaya akan karya seni. Salah satunya adalah wayang yang menjadi kebanggaan–bukan hanya bagi masyarakat Jawa, tetapi bagi Indonesia. Kebudayaan khas ini digambarkan oleh Galih, yang berharap agar orang-orang di Kota Solo, yang terkenal dengan budayanya, bisa lebih banyak yang sadar akan pentingnya BISINDO dan mau mempelajarinya. 

 

  • Mellyana Puji A.W

Doodle art menjadi ketertarikan sendiri bagi Melly. Melalui karyanya, Melly menggunakan warna manusia yang cerah di tengah-tengah monster monokrom untuk menggambarkan keberadaan Tuli di tengah masyarakat dengar. Begitu pula, perasaan Melly yang seringkali merasa terasing dalam masyarakat dengar.